Selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset masih terbatas, meskipun terdapat UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun lamanya. Itulah sebabnya mengapa RUU Perampasan Aset perlu disahkan segera.
Meskipun RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dinilai sangat penting namun faktanya RUU ini masih terkatung katung pembahasannya. Nampaknya, upaya untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset sama berlikunya dengan upaya pemberantasan korupsi.
Kalau kita telusuri sejarahnya, sebenarnya usulan untuk membentuk RUU Perampasan Aset sudah berlangsung cukup lama. Usul untuk membentuk RUU Perampasan Aset lahir di tengah keputusasaan banyak pihak menyaksikan kasus korupsi yang merajalela di Indonesia.
Usul itu sudah dimulai sejak tahun 2008 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pada bulan November tahun 2010, RUU ini kemudian rampung dibahas antar kementerian untuk dimajukan pada tahapan selanjutnya. Melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 RUU Perampasan Aset disampaikan kepada Presiden pada 12 Desember 2011, kemudian harmonisasi naskah akademik dilakukan pada tahun 2012. RUU Perampasan Aset sempat masuk sebagai RUU Prolegnas jangka menengah pada tahun 2015, namun setelah itu ceritanya seperti hilang begitu saja.
Pembicaraan mengenai RUU Perampasan Aset kembali mengemuka setelah RUU tersebut tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di DPR. Seperti diberitakan, Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3/2021) mengesahkan 33 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pengesahan 33 RUU itu pun disorot oleh sejumlah pihak lantaran salah satu RUU yang dinilai penting yaitu RUU Perampasan Aset Tindak Pidana justru tak masuk didalamnya.
Tidak masuknya RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas 2021 disesalkan banyak pihak yang mengindikasikan bahwa pembentuk Undang Undang (dalam hal ini DPR) dinilai tidak mempunyai political will yang kuat dalam upaya Perampasan Aset hasil tindak pidana.
Sesungguhnya soal lambatnya pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana itu juga terjadi pada beberapa RUU lainnya. Saat ini masih banyak RUU yang belum kelar juga pembahasannya meskipun telah berlangsung sangat lama. Anggota DPR yang membahas RUU tersebut sudah berkali kali berganti orangnya.
Beberapa RUU sangat lama pembahasannya hingga lebih dari lima kali masa sidang dan tak kunjung disahkan diantaranya adalah RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol; RUU tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).