JABAR, HALOBANTEN.COM – Siapa sangka, di tengah gempuran era digital, sektor pertanian di Indonesia justru jadi “raja” dalam menyerap tenaga kerja.
Bayangkan, per Februari 2025, ada 41,6 juta orang yang menggantungkan hidupnya di bidang ini, melesat naik dari 38,9 juta di tahun 2020. Ini bukti nyata: sawah dan ladang, bukan startup atau pabrik canggih, yang jadi tulang punggung utama ekonomi kita!
Logikanya sederhana: orang mungkin bisa hidup tanpa iPhone terbaru, tapi mustahil tanpa makan. Dari balita sampai lansia, dari si miskin hingga tajir melintir, semua bergantung pada hasil tani. Ketika sektor lain bisa gulung tikar, pertanian justru terus panen.
Namun, ada ironi yang menyayat hati. Anak muda seolah jijik dengan profesi ini. Petani dicap pekerjaan rendahan, kotor, dan sama sekali enggak ‘keren’. Padahal, tanpa mereka, kita mungkin cuma bisa makan meme, bukan nasi!
Mirisnya lagi, orang tua pun sering berpesan, “Sekolah yang tinggi, biar enggak jadi petani kayak bapak.” Seolah profesi petani adalah aib, bukan sebuah kebanggaan yang menghidupi bangsa.
Masalahnya enggak berhenti di situ. Lahan pertanian makin tergerus, tergusur jadi ruko, perumahan, atau kebun sawit. Tenaga kerja makin menipis. Sementara yang tersisa harus berjuang keras melawan cuaca ekstrem, harga pupuk yang mencekik, dan kebijakan yang kadang lebih memihak pasar daripada para petani.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, jangan kaget kalau nanti kita terpaksa makan nasi bungkus impor. Pemerintah, ini saatnya membuka mata! Fokus pada sektor pertanian adalah harga mati.
Jika pertanian merosot, angka penyerapan tenaga kerja akan anjlok, dan jumlah pengangguran bakal melonjak drastis. (*/bbs)