Alasan bahwa subsidi BBM kalau tidak dipangkas katanya bisa membuat jebol APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) terasa amat janggal terdengar di telinga. Nyatanya subsidi BBM di dalam APBN-P 2022 sebenarnya “hanya” sebesar Rp149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun (jauh berbeda dengan pengakuan Pemerintah yang katanya mencapai 502,4 triliun nilainya). Makanya pengakuan pemerintah itu oleh ekonom senior Anthony Budiawan dianggap sebagai sebuah kebohongan belaka.
Apalagi jika kita merujuk pada data realisasi penggunaan anggaran, per semester 1-2022 kemarin, realisasi penggunaan anggaran subsidi energi secara keseluruhan sebenarnya baru mencapai 36,2 persen, yang terdiri dari realisasi penggunaan subsidi BBM sebesar 36,4 persen, dan realisasi penggunaan subsidi listrik sebesar 35,7 persen saja.
Jadi, dari sisi anggaran, sesungguhnya tidak ada urgensinya menaikkan harga BBM, karena anggaran subsidi yang telah ditetapkan bisa mencukupi hingga akhir tahun 2022. Makanya sangat wajar kalau sebelumnya Presiden Jokowi pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM subsidi hingga akhir tahun 2022.
Lalu mengapa kok tiba-tiba saja Pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM yang membuat rakyat makin menderita? Bisa jadi hal ini dilakukan karena Pemerintah ingin menambal defisit di APBN 2023. Pemerintah ingin defisit APBN 2023 harus kembali normal ke angka maksimal 3 persen dari PDB, sesuai ketentuan UU Keuangan Negara.
Karena seperti kita ketahui, saat awal pandemic Covid-19 kemarin, pemerintah telah mengeluarkan Perppu No. 1/2020 yang memperbolehkan pelonggaran defisit melampaui angka 3 persen PDB hingga tahun 2022. Sebagai catatan, target defisit APBN tahun ini adalah 4,5 persen saja.