JAKARTA, HALOBANTEN.COM – Ekonom dari Celios, Bhima Yudhistira, melontarkan peringatan keras terkait manuver pemerintah yang semakin agresif dalam menerbitkan utang. Strategi ini dinilai sangat berisiko, terutama menjelang sejumlah pembayaran utang jumbo yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Menurut catatan, total pembayaran utang yang harus dihadapi pemerintah adalah sebagai berikut:
* Juni: Rp178,9 triliun
* Agustus: Rp105,3 triliun
* Oktober: Rp100,7 triliun
Dampak Berantai yang Mengkhawatirkan
Bhima menjelaskan bahwa penerbitan utang yang ugal-ugalan ini berpotensi memicu serangkaian efek domino yang merugikan stabilitas ekonomi nasional:
1. Rupiah tertekan: Nilai tukar rupiah diprediksi akan melemah, membuat harga barang impor semakin mahal.
2. Cadangan devisa menipis: Arus keluar dolar untuk pembayaran utang akan menguras cadangan devisa, yang berfungsi sebagai benteng ekonomi di masa krisis.
3. Bunga utang membengkak: Beban bunga utang yang terus naik akan membebani anggaran negara dan mengurangi alokasi untuk sektor-sektor produktif.
4. Sektor swasta tercekik: Persaingan dalam memperebutkan dana dari pasar akan membuat sektor swasta kesulitan mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah. Ini bisa memicu gelombang PHK massal sebagai langkah darurat.
“Kalau negara terus utang luar negeri (ULN), sektor swasta yang kelimpungan. Mereka harus naikin bunga buat ngelawan pemerintah biar surat utangnya dibeli juga. Saingan sama negara sendiri tuh berat, Bos!” tegas Bhima.
Utang Luar Negeri Tembus Rp7.144 Triliun
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa total Utang Luar Negeri (ULN) per Maret 2025 telah mencapai US$430,4 miliar, atau setara dengan Rp7.144,6 triliun.
Angka ini mengalami kenaikan signifikan sebesar 6,4% dibandingkan tahun sebelumnya, dan inflasi bukanlah pemicu utamanya.
Meskipun Bank Indonesia masih menyatakan bahwa utang tersebut “aman,” para ekonom memiliki pandangan berbeda. Mereka menyoroti ketidakcocokan antara pendapatan negara dalam rupiah dengan kewajiban pembayaran utang dalam dolar AS, yang bisa memicu risiko nilai tukar. (*/bbs)